Pages - Menu

Sabtu, 13 April 2013

Perkembangan Sosial


MAKALAH PERKEMBANGAN SOSIAL 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Perkembangan yang terjadi pada anak meliputi segala aspek kehidupan yang mereka jalani baik bersifat fisik maupun non fisik. Perkembangan berarti serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman. Menurut keyakinan tradisional sebagian manusia dilahirkan dengan sifat sosial dan sebagian lagi tidak. Orang yang lebih banyak merenungi diri dan lebih suka menyendiri daripada bersama-sama dengan orang lain atau introvert, secara alamiah memang sudah bersifat demikian. Mereka yang bersifat sosial dan pikirannya lebih banyak tertuju pada pada hal-hal di luar dirinya atau ekstrovert, juga sudah bersikap seperti itu karena alamiah yaitu faktor keturunan. Sedangkan orang yang menentang masyarakat yaitu orang yang antisosial, dan orang yang biasanya menjadi penjahat, diyakini oleh masyarakat tradisional sebagai warisan dari pada salah satu sifat buruk yang dimiliki oleh orang tuanya.

Hanya sedikit bukti yang menunjukan bahwa orang dilahirkan dalam keadaan sudah bersifat sosial, tidak sosial dan antisosial, dan banyak bukti sebaliknya yang menunjukan bahwa mereka bersifat demikian karena hasil belajar. Akan tetapi, belajar menjadi pribadi yang sosial tidak dapat dicapai dalam waktu singkat. Anak-anak akan belajar searah dengan daur (siklus), dengan periode kemajuan yang pesat diikuti oleh garis mendatar (plateau). Pada garis mendatar ini hanya terdapat sedikit kemajuan dalam diri anak. Periode kemajuan yang pesat bahkan kadang-kadang diikuti oleh tahap kemunduran ketingkat perilaku sosial yang rendah. Seberapa cepat anak dapat meningkat kembali dari garis mendatar itu sebagian besar bergantung pada kuat lemahnya motivasi mereka untuk bermasyarakat.

Ketika berakhirnya masa kanak-kanak, sebagian besar anak masih sangat kurang merasa puas dengan kemajuan yang mereka peroleh dalam segi perkembangan sosial. Hal ini benar sekali pun perkembangan mereka normal. Sejumlah studi tentang sumber ketidakbahagiaan yang dilaporkan oleh para remaja, banyak memberikan perhatian terhadap masalah sosial. Seperti dalam hal kemampuan bergaul, cara memperlakukan teman agar terhindar dari pertengkaran dan putusnya persahabatan, cara bersikap yang luwes dalam situasi sosial, dan cara mengembangkan kemampuan memimpin. Dan para remaja menganggap bahwa mereka belum menguasai dan memiliki kemampuan yangcukup dalam hal-hal tersebut.

Oleh karenanya, masalah perkembangan sosial ini sangat penting untuk dibahas. Karena untuk memahami peserta didik, kita harus mengetahui tentang perkembangan sosial yang sedang dialaminya. Sehingga, kita sebagai pendidik tahu harus bagaimana memperlakukan peserta didik yang sedang berkembang tersebut.

B.     Rumusan Masalah
Adapun pembahasan yang akan dibahas dalam makalah perkembangan sosial ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Apakah esensi (definisi) perkembangan sosial?
2.      Bagaimana karakteristik teori yang terdapat pada perkembangan sosial?
3.      Bagaimana bentuk-bentuk tingkah laku sosial pada anak?
4.      Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial seorang anak?
5.      Bagaimana pengaruh perkembangan sosial terhadap tingkah laku anak?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Defenisi Perkembangan Sosial

Maksud dari perkembangan sosial ini adalah pencapaian kematangan dalam hubungan atau interaksi sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok, tradisi, dan moral agama.[1] Secara umum perkembangan sosial merupakan ekspresi dari kondisifisik dan psikis individu yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.[2] Sebagai manusia yang tumbuh dewasa, peserta didik meningkatkan pengembangan dalam kognisisosial ataupengetahuan, pengalaman, dan pemahaman tentang kehidupan masyarakat dan aturan-aturan perilaku sosial.[3]

Syamsu Yusuf dalam Marganti Sit menyatakan bahwa perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi serta meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan kerja sama.[4]

Manusia dilahirkan belum memiliki kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan sosial anak diperoleh dari berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul dengan orang-orang di lingkungannya. Kebutuhan berinteraksi dengan orang lain terlah muncul sejak usia enam bulan. Saat itu anak telah mampu mengenal manusia lain, terutama ibu dan anggota keluarganya. Anak mulai mampu membedakan arti senyum dan perilaku sosial lain, seperti marah dan kasih sayang.[5]

B.     Karakteristik Teori

Teori perkembangan psikososial digagas oleh Erik Erikson. Dalam teori Erikson, 8 tahap perkembangan terbentang ketika kita melampaui siklus kehidupan. Masing-masing tahap terdiri dari tugas perkembangan yang khas yang menghadapkan indivudu dengan suatu krisis yang harus dihadapi, krisis ini bukanlah suatu bencana, tetapi suatu titik balik peningkatan kerentanan dan peningkatan potensi. Semakin berhasil individu mengatasi krisis, akan semakin sehat perkembangan mereka. Termasuk integrasi perkembangan personal, emosional, dan sosial, serta implikasinya dalam proses pembalajaran. 8 Tahap tersebut adalah[6] :

1)       TRUST vs MISTRUST (Percaya vs Tidak Percaya) sejak lahir-1 tahun.
Sikap dasar psikososial yang dipelajari bayi ketika mereka dapat mempercayai lingkungannya. Timbulnya Trust atau percaya dibantu oleh adanya pengalaman yang terus menerus, berkesinambungan, adanya pengalamana yang ada kesamaannya dengan ‘Trust’ dalam pemenuhan kebutuhan dasar bayi oleh orang tuanya. Apabila anak terpenuhi kebutuhan dasarnya dan apabila orang tuanya memberi kasih sayang dengan tulus, anak akan berpendapat bahwa dunianya (lingkungannya) dapat dipercaya atau diandalkan. Sebaliknya apabila pengasuhan yang diberikan orang tua kepada anaknya tidak memberikan atau memenuhi kebutuhan dasar yang diperlukan, tidak konsisten atau sifatnya negatif, anak akan cemas dan mencurigai lingkungannya.

2)      AUTONOMY vs SHAME and DOUBT (Otonomi vs Malu atau Ragu-ragu) antara usia 2-3 tahun
Segera setelah anak belajar ‘trust’ atau ‘mistrust’ terhadap orang tuanya, anak akan mencapai suatu derajat kemandirian tertentu. Apabila ‘toddler’ (anak usia 1,6-3 tahun) mendapat kesempatan dan memperoleh dorongan untuk melakukan yang diinginkan anak dan sesuai dengan tempo dan caranya sendiri, tetapi dengan supervisi orang tua dan guru yang bijaksana, maka anak akan mengembangkan kesadaran autonomy. Tetapi apabila orang tua dan guru tidak sabar dan terlalu banyak melarang anak yang berusia 2-3 tahun, maka akan menimbulkan sikap ragu-ragu terhadap lingkungannya. Sebaiknya orang tua menghindari sikap membuat malu anak apabila anak melakukan tingkah laku yang tidak disetujui orang tua. Karena rasa malu biasanya akan menimbulkan perasaan ragu terhadap kemampuan diri sendiri.

3)      INISIATIVE vs GUILT (Inisiatif vs antara 4-5 tahun)
Kemampuan untuk melakukan partisipasi dalam berbagai kegiatan fisik dan mampu mengambil inisiatif untuk suatu tindakan yang akan dilakukan anak usia 4-5 tahun. Tetapi tidak semua keinginan anak akan disetujui orang tua dan gurunya. Apabila anak usia 4-5 tahun diberi kebebasan untuk menjelajahi dan bereksperimen dalam lingkungannya, dan apabila orang tua dan guru memberikan waktu untuk menjawab pertanyaan anak, maka anak cenderung akan lebih banyak mempunyai inisiatif dalam menghadapi masalah yang ada di sekitarnya. Sebaliknya apabila anak selalu dihalangi keinginannya, dan dianggap pertanyaan atau apa saja yang dilakukan tidak ada artinya, maka anak akan selalu merasa bersalah.

4)      INDUSTRY vs INFERIORITY (6-11 Tahun)
Masa awal anak-anak yang penuh imajinasi, ketika anak-anak/individu memasuki tahun-tahun sekolah dasar, mereka mengarahkan energy mereka pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan intelektual. Tertarik pada bagaimana sesuatu diciptakan dan bagaimana sesuatu itu bekerja. Orang tua/ guru memberikan antusiasme pada daya tarik anak atau siswa pada kegiatan-kegiatannya, untuk mendorong bangkitnya rasa tekun anak/siswa. Sekolah memjadi sangat penting karena guru yang peka dan bertanggung jawab dapat mengembangkan rasa tekun siswa didik.

Periode ini individu/anak berfikir intuisif/berfikir mengandalkan ilham, anak-anak berimajinasi memperoleh kemampuan satu langkah berfikir mengkordinasi pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu kedalam sistem pemikirannya sendiri. Pada masa ini terbentuknya intelegensi intuitif. Anak-anak yang melewati fase ini dengan baik akhirnya akan memperoleh mendapatkan keyakinan bahwa mereka mampu menguasai masalah yang mereka hadapi (sense of mastery). Agar sampai pada tahap ini orang-orang dewasa yang mereka hormati seperti orang tua harus mendukung kegiatannya dan keinginannya untuk mengerti dan menguasai lingkungan mereka.

Kesulitan bagi anak ketika orang tua tidak mau repot dan cenderung melarang anak kemana-mana sehingga kegiatan dan keinginannya merepotkan orang tua. Sikap orang tua dan guru yang  acuh dapat menyebabkan anak merasa rendah diri dan bersalah (inferiority) yang sangat berdampak pada masa yang akan datang. Anak-anak yang merasa rendah diri lebih sulit merasakan adanya kemampuan mereka untuk mengembangkan kompetensi dalam bidang yang penting.

5)    Ego-Identity vs Role Confusion (Identitas Diri vs Kekacauan Peran) masa remaja 12-18/20 tahun
Pada tahap ini remaja/individu dihadapkan pada temuan siapa mereka? Bagaimana mereka nantinya? Kemana tujuan mereka? Penjajakan pilihan-pilihan alternatif terhadap peran karir merupakan hal penting. Pada tahap ini remaja memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara serentak/berurutan 2 (dua) ragam kemampuan kognitif.
a.       Kapasitas menggunakan hipotesis
b.      Kapasitas  menggunakan prinsip-prinsip abstrak, logis dan idealistik (berpikir tentang pemikiran itu sendiri).

6)      Intimacy vs Isolation (Keintiman vs Pengasingan) masa awal dewasa (18/19-30 tahun)
Pada periode ini, individu termotivasi untuk berhasil melalui perkembangan sosial. Pada proses belajar individu membentuk keintiman dalam proses pembentukan identitas yang tetap dan berhasil, jika keintiman tidak berkembang individu mengalami “isolasi” yang membentuk persahabatan yang sehat dan ketidakmampuan melakukan hubungan sosial menyebabkan individu mengalami frustasi dan introspeksi diri untuk menemukan kesalahan. Introspeksi diri mengakibatkan depresi dan isolasi yang pada akhirnya menghambat keinginan untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri. Orang tua/guru memiliki implikasi penting pada kematangan mereka (kemandirian dan kebebasan). Keintiman dapat terjadi karena seseorang telah mengenal dirinya dan merasa cukup aman dengan identitas diri yang dimilikinya. Akibat dari rasa aman ini akhirnya mereka mengijinkan orang lain untuk berbagi dengannya dan mengenal kelebihan dan kekurangan kita.

7)      Generactivity vs Stagnation (Perluasan dan Stagnasi) masa pertengahan dewasa (antara pertengahan 20-an tahun sampai 50-an tahun)
Perluasan mencakup rencana-rencana orang dewasa atas apa yang mereka harap guna membantu generasi muda mengembangkan dan mengarahkan kehidupan yang berguna. Stagnasi/mandeg terjadi ketika individu tidak melakukan apa-apa untuk generasi berikutnya. Generativity adalah rasa peduli yang sudah lebih dewasa dan luas daripada intimacy karena rasa kasih ini telah mengalir ke kelompok lain, terutama generasi selanjutnya. Stagnasi adalah lawan dari generactivity yakni terbatasnya kepedulian seseorang pada dirinya, tidak ada rasa peduli pada orang lain. Orang-orang yang mengalami stagnasi tidak lagi produktif untuk masyarakat karena meraka tidak bisa melihat hal lain selain apakah hal itu menguntungkan diri mereka seketika.

8)      Integrity vs Despair (Integritas dan Kekecewaan) Akhir dewasa (60 tahunan)
Periode ini adalah masa untuk melihat kembali apa yang telah kita lakukan dalam kehidupan kita, harapan positif. Kehidupan baik menjadi lebih baik menimbulkan rasa puas dan akhirnya tercipta integritas. Di sisi lain masa ini juga dapat menimbulkan keputusasaan jika masa lalunya negatif.

C.    Bentuk-bentuk Tingkah Laku Sosial

Dalam perkembangan menuju kematangan sosial, anak mewujudkan dalam bentuk-bentuk interaksi sosial di antaranya[7] :
1)      Pembangkangan (Negativisme)
Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau limgkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak. Tingkah laku ini mulai muncul pada usia 18 bulan dan mencapai puncaknya pada usia tiga tahun dan mulai menurun pada usia empat hingga enem tahun.
Sikap orang tua terhadap anak seyogyanya tidak memandang pertanda mereka anak yang nakal, keras kepala,tolol atau sebutan negatif lainnya, sebaiknya orang tua mau memahami sebagai proses perkembangan anak dari sikap dependent menuju ke arah independent.
2)      Agresif (Agression)
Agresi adalah perilaku menyerang balik secara fisik (non verbal) maupun kata-kata (verbal). Agresi merupakan salah bentuk reaksi terhadap rasa frustasi (rasa kecawa karena tidak terpenuhi kebutuhan atau keinginannya). Biasanya bentuk ini diwujudkan dengan menyerang seperti; mencubit, menggigit, menendang, dan lain sebagainya.
Sebaiknya orang tua berusaha mereduksi, mengurangi agresifitas anak dengan cara mengalihkan perhatian atau keinginan anak. Jika orang tua menghukum anak yang agresif maka agresifitas anak akan semakin meningkat.
3)      Berselisih (Clashing)
Sikap ini terjadi jika anak merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap atau perilaku anak lain.
4)      Menggoda (Teasing)
Menggoda merupakan bentuk lain dari sikap agresif, menggoda merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan) yang menimbulkan marah pada orang yang digodanya.
5)      Persaingan (Rivaly)
Persaingan adalah keinginan untuk melebihi orang lain dan selalu didorong oleh orang lain. Sikap ini mulai terlihat pada usia empat tahun, yaitu persaingan prestise dan pada usia enam tahun semangat bersaing ini akan semakin baik.
6)      Kerja sama (Cooperation)
Sikap mau bekerja sama dengan orang lain mulai tampak pada usia tiga tahun atau awal empat tahun, pada usia enam tahun hingga tujuh tahun sikap ini semakin berkembang dengan baik.
7)      Tingkah laku berkuasa (ascendant behavior)
Tingkah laku untuk menguasai situasi sosial, mendominasi atau bersikap boss. Wujud dari sikap ini adalah, memaksa, meminta, menyuruh, mengancam, dan sebagainya.
8)      Mementingkan diri sendiri (selfishness)
Sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginannya.
9)      Simpati (sympathy)
Sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh perhatian terhadap orang lain mau mendekati atau bekerjasama dengan dirinya.
Sikap emosional yang mendorong individu untuk menaruh perhatian terhadap orang lain maub mendekati atau bekerja sama dengan dirinya.

D.    Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial

Perkembangan sosial dipengaruhi beberapa faktor, yaitu[8] :
1.      Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya.
2.      Kematangan
Untuk dapat bersosialisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik dan psikis sehingga mampu mempertimbangkan proses sosial, memberi dan menerima nasehat orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional, di samping itu kematangan dalam berbahasa juga sangat menentukan.
3.      Status Sosial Ekonomi
Kehidupan sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga dalam masyarakat. Perilaku anak akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah ditanamkan oleh keluarganya.
4.      Pendidikan
Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai proses pengoperasian ilmu yang normatif, anak memberikan warna kehidupan sosial di dalam masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang akan datang.
5.      Kapasitas Mental : Emosi dan Intelegensi
Kemampuan berfikir dapat banyak mempengaruhi hal, seperti kemampuan belajar, memecahkan masalah, dan berbahasa. Perkembangan emosi berpengaruh sekali terhadap perkembangan sosial anak. Anak yang berkemampuan intelek tinggi akan berkemampuan berbahasa dengan baik. Oleh karena itu jika perkembangan ketiganya seimbang maka akan sangat menentukan keberhasilan perkembangan sosial anak.

E.     Pengaruh Perkembangan Sosial terhadap Tingkah Laku

Dalam perkembangan sosial anak, mereka dapat memikirkan dirinya dan orang lain. Pemikiran itu terwujud dalam refleksi diri, yang sering mengarah kepenilaian diri dan kritik dari hasil pegaulannya dengan orang lain. Hasil pemikiran dirinya tidak akan diketahui oleh orang lain, bahkan sering ada yang menyembunyikannya atau merahasiakannya.

Pikiran anak sering dipengaruhi oleh ide-ide dari teori-teori yang menyebabkan sikap kritis terhadap situasi dan orang lain, termasuk kepada orang tuanya. Kemampuan abstraksi anak sering menimbulkan kemampuan mempersalahkan kenyataan dan peristiwa-peristiwa dengan keadaan bagaimana yang semestinya menurut alam pikirannya.

Di samping itu pengaruh egosentris sering terlihat, di antaranya berupa:
1.   Cita-cita dan idealisme yang baik, terlalu menitik beratkan pikiran sendiri, tanpa memikirkan akibat lebih jauh dan tanpa memperhitungkan kesulitan praktis yang mungkin menyebabkan tidak berhasilnya menyelesaikan persoalan.
2.    Kemampuan berfikir dengan pendapat sendiri, belum disertai pendapat orang lain dalam penilaiannya.

Melalui banyak pengalaman dan penghayatan kenyataan serta dalam menghadapi pendapat orang lain, maka sikap ego semakin berkuran dan diakhir masa remaja sudah sangat kecil rasa egonya sehingga mereka dapat bergaul dengan baik.[9]

BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan

1. Perkembangan sosial dapat diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi serta meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi dan kerja sama.

2.     Terdapat 8 tahap teori perkembangan sosial, yaitu :
a.       TRUST vs MISTRUST (Percaya vs Tidak Percaya) sejak lahir-1 tahun.
b.      AUTONOMY vs SHAME and DOUBT (Otonomi vs Malu atau Ragu-ragu) antara usia 2-3 tahun.
c.       INISIATIVE vs GUILT (Inisiatif vs antara 4-5 tahun).
d.      INDUSTRY vs INFERIORITY (6-11 Tahun).
e.     Ego-Identity vs Role Confusion (Identitas Diri vs Kekacauan Peran) masa remaja 12-18/20 tahun.
f.       Intimacy vs Isolation (Keintiman vs Pengasingan) masa awal dewasa (18/19-30 tahun).
g.  Generactivity vs Stagnation (Perluasan dan Stagnasi) masa pertengahan dewasa (antara pertengahan 20-an tahun sampai 50-an tahun).
h.      Integrity vs Despair (Integritas dan Kekecewaan) Akhir dewasa (60 tahunan).

3.      Dalam perkembangan menuju kematangan sosial, anak mewujudkan dalam bentuk-bentuk interaksi sosial di antaranya, Pembangkangan (Negativisme), Agresif (Agression), Berselisih (Clashing), Menggoda (Teasing), Persaingan (Rivaly), Kerja sama (Cooperation), Tingkah laku berkuasa (ascendant behavior), Mementingkan diri sendiri (selfishness), Simpati (sympathy).

4.      Perkembangan sosial dipengaruhi beberapa faktor, yaitu, keluarga, kematangan, pendidikan, status sosial dan ekonomi, dan kapasitas mental (emosi dan intelegensi).

5.      Melalui banyak pengalaman dan penghayatan kenyataan serta dalam menghadapi pendapat orang lain, maka sikap ego semakin berkuran dan diakhir masa remaja sudah sangat kecil rasa egonya sehingga mereka dapat bergaul dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Danim, Sudarwan. Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Alfabeta, 2010.
L.N., Syamsu Yusuf, and Nani M. Sugandhi. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Sit, Marganti. Perkembangan Peserta Didik. Medan: Perdana Publishing, 2010.
Thalib, Syamsul Bachri. Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif. Jakarta: Kencana, 2010.



[1] Syamsu Yusuf L.N. dan Nani M. Sugandhi, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal, 65.
[2] Syamsul Bachri Thalib, Psikologi Pendidikan Berbasis Analaisis Empiris Aplikatif, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 58.
[3] Sudarwan Danim, Perkembangan Peserta Didik, (Bandung: Alfabeta, 2010), hal.67.
[4] Marganti Sit, Perkembangan Peserta Didik, (Medan: Perdana Publishing, 2010), hal. 87.
[5] Ibid.
[6] Ibid., 89-97.
[7] Ibid., 87-89.
[8] Ibid., 87-89.
[9] Ibid., hal. 99.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar