MAKALAH PERKEMBANGAN SOSIAL
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perkembangan yang
terjadi pada anak meliputi segala aspek kehidupan yang mereka jalani baik
bersifat fisik maupun non fisik. Perkembangan berarti serangkaian perubahan
progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman.
Menurut keyakinan tradisional sebagian manusia dilahirkan dengan sifat sosial
dan sebagian lagi tidak. Orang yang lebih banyak merenungi diri dan lebih suka
menyendiri daripada bersama-sama dengan orang lain atau introvert, secara
alamiah memang sudah bersifat demikian. Mereka yang bersifat sosial dan
pikirannya lebih banyak tertuju pada pada hal-hal di luar dirinya atau
ekstrovert, juga sudah bersikap seperti itu karena alamiah yaitu faktor
keturunan. Sedangkan orang yang menentang masyarakat yaitu orang yang
antisosial, dan orang yang biasanya menjadi penjahat, diyakini oleh masyarakat
tradisional sebagai warisan dari pada salah satu sifat buruk yang dimiliki oleh
orang tuanya.
Hanya sedikit bukti
yang menunjukan bahwa orang dilahirkan dalam keadaan sudah bersifat sosial,
tidak sosial dan antisosial, dan banyak bukti sebaliknya yang menunjukan bahwa
mereka bersifat demikian karena hasil belajar. Akan tetapi, belajar menjadi
pribadi yang sosial tidak dapat dicapai dalam waktu singkat. Anak-anak akan
belajar searah dengan daur (siklus), dengan periode kemajuan yang pesat diikuti
oleh garis mendatar (plateau). Pada garis mendatar ini hanya terdapat sedikit
kemajuan dalam diri anak. Periode kemajuan yang pesat bahkan kadang-kadang diikuti
oleh tahap kemunduran ketingkat perilaku sosial yang rendah. Seberapa cepat
anak dapat meningkat kembali dari garis mendatar itu sebagian besar bergantung
pada kuat lemahnya motivasi mereka untuk bermasyarakat.
Ketika berakhirnya masa
kanak-kanak, sebagian besar anak masih sangat kurang merasa puas dengan
kemajuan yang mereka peroleh dalam segi perkembangan sosial. Hal ini benar
sekali pun perkembangan mereka normal. Sejumlah studi tentang sumber ketidakbahagiaan
yang dilaporkan oleh para remaja, banyak memberikan perhatian terhadap masalah
sosial. Seperti dalam hal kemampuan bergaul, cara memperlakukan teman agar
terhindar dari pertengkaran dan putusnya persahabatan, cara bersikap yang luwes
dalam situasi sosial, dan cara mengembangkan kemampuan memimpin. Dan para
remaja menganggap bahwa mereka belum menguasai dan memiliki kemampuan yangcukup
dalam hal-hal tersebut.
Oleh karenanya, masalah
perkembangan sosial ini sangat penting untuk dibahas. Karena untuk memahami
peserta didik, kita harus mengetahui tentang perkembangan sosial yang sedang
dialaminya. Sehingga, kita sebagai pendidik tahu harus bagaimana memperlakukan
peserta didik yang sedang berkembang tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Adapun pembahasan yang akan dibahas
dalam makalah perkembangan sosial ini diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Apakah esensi (definisi)
perkembangan sosial?
2. Bagaimana karakteristik teori yang
terdapat pada perkembangan sosial?
3. Bagaimana bentuk-bentuk tingkah laku
sosial pada anak?
4. Apa saja faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan sosial seorang anak?
5. Bagaimana pengaruh perkembangan
sosial terhadap tingkah laku anak?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Defenisi Perkembangan Sosial
Maksud dari perkembangan sosial ini
adalah pencapaian kematangan dalam hubungan atau interaksi sosial. Dapat juga
diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma
kelompok, tradisi, dan moral agama.[1]
Secara umum perkembangan sosial merupakan ekspresi dari kondisifisik dan psikis
individu yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.[2]
Sebagai manusia yang tumbuh dewasa, peserta didik meningkatkan pengembangan
dalam kognisisosial ataupengetahuan, pengalaman, dan pemahaman tentang
kehidupan masyarakat dan aturan-aturan perilaku sosial.[3]
Syamsu Yusuf dalam Marganti Sit
menyatakan bahwa perkembangan sosial merupakan pencapaian kematangan dalam
hubungan sosial. Perkembangan sosial dapat pula diartikan sebagai proses
belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan
tradisi serta meleburkan diri menjadi satu kesatuan dan saling berkomunikasi
dan kerja sama.[4]
Manusia dilahirkan belum memiliki
kemampuan dalam berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan sosial anak diperoleh
dari berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul dengan orang-orang di
lingkungannya. Kebutuhan berinteraksi dengan orang lain terlah muncul sejak
usia enam bulan. Saat itu anak telah mampu mengenal manusia lain, terutama ibu
dan anggota keluarganya. Anak mulai mampu membedakan arti senyum dan perilaku
sosial lain, seperti marah dan kasih sayang.[5]
B.
Karakteristik Teori
Teori perkembangan psikososial digagas
oleh Erik Erikson. Dalam teori Erikson, 8 tahap perkembangan terbentang ketika
kita melampaui siklus kehidupan. Masing-masing tahap terdiri dari tugas
perkembangan yang khas yang menghadapkan indivudu dengan suatu krisis yang
harus dihadapi, krisis ini bukanlah suatu bencana, tetapi suatu titik balik
peningkatan kerentanan dan peningkatan potensi. Semakin berhasil individu
mengatasi krisis, akan semakin sehat perkembangan mereka. Termasuk integrasi perkembangan
personal, emosional, dan sosial, serta implikasinya dalam proses pembalajaran.
8 Tahap tersebut adalah[6] :
1)
TRUST vs
MISTRUST (Percaya vs Tidak Percaya) sejak lahir-1 tahun.
Sikap dasar psikososial yang dipelajari
bayi ketika mereka dapat mempercayai lingkungannya. Timbulnya Trust atau
percaya dibantu oleh adanya pengalaman yang terus menerus, berkesinambungan,
adanya pengalamana yang ada kesamaannya dengan ‘Trust’ dalam pemenuhan
kebutuhan dasar bayi oleh orang tuanya. Apabila anak terpenuhi kebutuhan dasarnya
dan apabila orang tuanya memberi kasih sayang dengan tulus, anak akan
berpendapat bahwa dunianya (lingkungannya) dapat dipercaya atau diandalkan.
Sebaliknya apabila pengasuhan yang diberikan orang tua kepada anaknya tidak
memberikan atau memenuhi kebutuhan dasar yang diperlukan, tidak konsisten atau
sifatnya negatif, anak akan cemas dan mencurigai lingkungannya.
2)
AUTONOMY vs
SHAME and DOUBT (Otonomi vs Malu atau
Ragu-ragu) antara usia 2-3 tahun
Segera setelah anak belajar ‘trust’ atau
‘mistrust’ terhadap orang tuanya, anak akan mencapai suatu derajat kemandirian
tertentu. Apabila ‘toddler’ (anak usia 1,6-3 tahun) mendapat kesempatan dan
memperoleh dorongan untuk melakukan yang diinginkan anak dan sesuai dengan
tempo dan caranya sendiri, tetapi dengan supervisi orang tua dan guru yang
bijaksana, maka anak akan mengembangkan kesadaran autonomy. Tetapi apabila
orang tua dan guru tidak sabar dan terlalu banyak melarang anak yang berusia
2-3 tahun, maka akan menimbulkan sikap ragu-ragu terhadap lingkungannya.
Sebaiknya orang tua menghindari sikap membuat malu anak apabila anak melakukan
tingkah laku yang tidak disetujui orang tua. Karena rasa malu biasanya akan
menimbulkan perasaan ragu terhadap kemampuan diri sendiri.
3)
INISIATIVE vs GUILT (Inisiatif vs antara 4-5 tahun)
Kemampuan untuk melakukan partisipasi
dalam berbagai kegiatan fisik dan mampu mengambil inisiatif untuk suatu
tindakan yang akan dilakukan anak usia 4-5 tahun. Tetapi tidak semua keinginan
anak akan disetujui orang tua dan gurunya. Apabila anak usia 4-5 tahun diberi
kebebasan untuk menjelajahi dan bereksperimen dalam lingkungannya, dan apabila
orang tua dan guru memberikan waktu untuk menjawab pertanyaan anak, maka anak
cenderung akan lebih banyak mempunyai inisiatif dalam menghadapi masalah yang
ada di sekitarnya. Sebaliknya apabila anak selalu dihalangi keinginannya, dan
dianggap pertanyaan atau apa saja yang dilakukan tidak ada artinya, maka anak
akan selalu merasa bersalah.
4)
INDUSTRY vs
INFERIORITY (6-11 Tahun)
Masa awal anak-anak yang penuh
imajinasi, ketika anak-anak/individu memasuki tahun-tahun sekolah dasar, mereka
mengarahkan energy mereka pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan
intelektual. Tertarik pada bagaimana sesuatu diciptakan dan bagaimana sesuatu
itu bekerja. Orang tua/ guru memberikan antusiasme pada daya tarik anak atau
siswa pada kegiatan-kegiatannya, untuk mendorong bangkitnya rasa tekun
anak/siswa. Sekolah memjadi sangat penting karena guru yang peka dan
bertanggung jawab dapat mengembangkan rasa tekun siswa didik.
Periode ini individu/anak berfikir
intuisif/berfikir mengandalkan ilham, anak-anak berimajinasi memperoleh
kemampuan satu langkah berfikir mengkordinasi pemikiran dan idenya dengan
peristiwa tertentu kedalam sistem pemikirannya sendiri. Pada masa ini
terbentuknya intelegensi intuitif. Anak-anak yang melewati fase ini dengan baik
akhirnya akan memperoleh mendapatkan keyakinan bahwa mereka mampu menguasai
masalah yang mereka hadapi (sense of
mastery). Agar sampai pada tahap
ini orang-orang dewasa yang mereka
hormati seperti orang tua harus mendukung kegiatannya dan keinginannya untuk
mengerti dan menguasai lingkungan mereka.
Kesulitan bagi anak ketika orang tua
tidak mau repot dan cenderung melarang anak kemana-mana sehingga kegiatan dan
keinginannya merepotkan orang tua. Sikap orang tua dan guru yang acuh dapat menyebabkan anak merasa rendah
diri dan bersalah (inferiority) yang sangat berdampak pada masa yang akan datang.
Anak-anak yang merasa rendah diri lebih sulit merasakan adanya kemampuan mereka
untuk mengembangkan kompetensi dalam bidang yang penting.
5) Ego-Identity
vs Role Confusion (Identitas Diri vs
Kekacauan Peran) masa remaja 12-18/20 tahun
Pada tahap ini remaja/individu dihadapkan pada
temuan siapa mereka? Bagaimana mereka nantinya? Kemana tujuan mereka?
Penjajakan pilihan-pilihan alternatif terhadap peran karir merupakan hal
penting. Pada tahap ini remaja memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara
serentak/berurutan 2 (dua) ragam kemampuan kognitif.
a.
Kapasitas
menggunakan hipotesis
b.
Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak, logis
dan idealistik (berpikir tentang pemikiran itu sendiri).
6)
Intimacy
vs Isolation (Keintiman vs
Pengasingan) masa awal dewasa (18/19-30 tahun)
Pada periode ini, individu termotivasi
untuk berhasil melalui perkembangan sosial. Pada proses belajar individu
membentuk keintiman dalam proses pembentukan identitas yang tetap dan berhasil,
jika keintiman tidak berkembang individu mengalami “isolasi” yang membentuk
persahabatan yang sehat dan ketidakmampuan melakukan hubungan sosial
menyebabkan individu mengalami frustasi dan introspeksi diri untuk menemukan
kesalahan. Introspeksi diri mengakibatkan depresi dan isolasi yang pada
akhirnya menghambat keinginan untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri. Orang
tua/guru memiliki implikasi penting pada kematangan mereka (kemandirian dan
kebebasan). Keintiman dapat terjadi karena seseorang telah mengenal dirinya dan
merasa cukup aman dengan identitas diri yang dimilikinya. Akibat dari rasa aman
ini akhirnya mereka mengijinkan orang lain untuk berbagi dengannya dan mengenal
kelebihan dan kekurangan kita.
7)
Generactivity
vs Stagnation (Perluasan dan
Stagnasi) masa pertengahan dewasa (antara pertengahan 20-an tahun sampai 50-an
tahun)
Perluasan mencakup rencana-rencana orang
dewasa atas apa yang mereka harap guna membantu generasi muda mengembangkan dan
mengarahkan kehidupan yang berguna. Stagnasi/mandeg terjadi ketika individu
tidak melakukan apa-apa untuk generasi berikutnya. Generativity adalah rasa
peduli yang sudah lebih dewasa dan luas daripada intimacy karena rasa kasih ini
telah mengalir ke kelompok lain, terutama generasi selanjutnya. Stagnasi adalah
lawan dari generactivity yakni terbatasnya kepedulian seseorang pada dirinya,
tidak ada rasa peduli pada orang lain. Orang-orang yang mengalami stagnasi
tidak lagi produktif untuk masyarakat karena meraka tidak bisa melihat hal lain
selain apakah hal itu menguntungkan diri mereka seketika.
8)
Integrity
vs Despair (Integritas dan
Kekecewaan) Akhir dewasa (60 tahunan)
Periode ini adalah masa untuk melihat
kembali apa yang telah kita lakukan dalam kehidupan kita, harapan positif.
Kehidupan baik menjadi lebih baik menimbulkan rasa puas dan akhirnya tercipta
integritas. Di sisi lain masa ini juga dapat menimbulkan keputusasaan jika masa
lalunya negatif.
C.
Bentuk-bentuk Tingkah Laku Sosial
Dalam perkembangan menuju kematangan
sosial, anak mewujudkan dalam bentuk-bentuk interaksi sosial di antaranya[7] :
1)
Pembangkangan (Negativisme)
Tingkah laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap
penerapan disiplin atau tuntutan orang tua atau limgkungan yang tidak sesuai
dengan kehendak anak. Tingkah laku ini mulai muncul pada usia 18 bulan dan
mencapai puncaknya pada usia tiga tahun dan mulai menurun pada usia empat
hingga enem tahun.
Sikap orang tua terhadap anak seyogyanya tidak
memandang pertanda mereka anak yang nakal, keras kepala,tolol atau sebutan
negatif lainnya, sebaiknya orang tua mau memahami sebagai proses perkembangan
anak dari sikap dependent menuju ke arah independent.
2)
Agresif (Agression)
Agresi adalah perilaku menyerang balik secara fisik
(non verbal) maupun kata-kata (verbal). Agresi merupakan salah bentuk reaksi
terhadap rasa frustasi (rasa kecawa karena tidak terpenuhi kebutuhan atau
keinginannya). Biasanya bentuk ini diwujudkan dengan menyerang seperti;
mencubit, menggigit, menendang, dan lain sebagainya.
Sebaiknya orang tua berusaha mereduksi, mengurangi
agresifitas anak dengan cara mengalihkan perhatian atau keinginan anak. Jika
orang tua menghukum anak yang agresif maka agresifitas anak akan semakin
meningkat.
3)
Berselisih (Clashing)
Sikap ini terjadi jika anak merasa tersinggung atau
terganggu oleh sikap atau perilaku anak lain.
4)
Menggoda (Teasing)
Menggoda merupakan bentuk lain dari sikap agresif,
menggoda merupakan serangan mental terhadap orang lain dalam bentuk verbal
(kata-kata ejekan atau cemoohan) yang menimbulkan marah pada orang yang
digodanya.
5)
Persaingan (Rivaly)
Persaingan adalah keinginan untuk melebihi orang
lain dan selalu didorong oleh orang lain. Sikap ini mulai terlihat pada usia
empat tahun, yaitu persaingan prestise dan pada usia enam tahun semangat
bersaing ini akan semakin baik.
6)
Kerja sama (Cooperation)
Sikap mau bekerja sama dengan orang lain mulai
tampak pada usia tiga tahun atau awal empat tahun, pada usia enam tahun hingga
tujuh tahun sikap ini semakin berkembang dengan baik.
7)
Tingkah laku
berkuasa (ascendant behavior)
Tingkah laku untuk menguasai situasi sosial,
mendominasi atau bersikap boss. Wujud dari sikap ini adalah, memaksa, meminta,
menyuruh, mengancam, dan sebagainya.
8)
Mementingkan
diri sendiri (selfishness)
Sikap egosentris dalam memenuhi interest atau
keinginannya.
9)
Simpati (sympathy)
Sikap emosional yang mendorong individu untuk
menaruh perhatian terhadap orang lain mau mendekati atau bekerjasama dengan dirinya.
Sikap emosional yang mendorong individu untuk
menaruh perhatian terhadap orang lain maub mendekati atau bekerja sama dengan
dirinya.
D.
Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial dipengaruhi beberapa faktor,
yaitu[8] :
1.
Keluarga
Keluarga
merupakan lingkungan pertama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek
perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya.
2.
Kematangan
Untuk
dapat bersosialisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik dan psikis
sehingga mampu mempertimbangkan proses sosial, memberi dan menerima nasehat
orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional, di samping itu
kematangan dalam berbahasa juga sangat menentukan.
3.
Status Sosial
Ekonomi
Kehidupan
sosial banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga dalam
masyarakat. Perilaku anak akan banyak memperhatikan kondisi normatif yang telah
ditanamkan oleh keluarganya.
4.
Pendidikan
Pendidikan
merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai
proses pengoperasian ilmu yang normatif, anak memberikan warna kehidupan sosial
di dalam masyarakat dan kehidupan mereka di masa yang akan datang.
5.
Kapasitas Mental
: Emosi dan Intelegensi
Kemampuan
berfikir dapat banyak mempengaruhi hal, seperti kemampuan belajar, memecahkan
masalah, dan berbahasa. Perkembangan emosi berpengaruh sekali terhadap
perkembangan sosial anak. Anak yang berkemampuan intelek tinggi akan
berkemampuan berbahasa dengan baik. Oleh karena itu jika perkembangan ketiganya
seimbang maka akan sangat menentukan keberhasilan perkembangan sosial anak.
E.
Pengaruh Perkembangan Sosial terhadap Tingkah Laku
Dalam perkembangan sosial anak, mereka
dapat memikirkan dirinya dan orang lain. Pemikiran itu terwujud dalam refleksi
diri, yang sering mengarah kepenilaian diri dan kritik dari hasil pegaulannya
dengan orang lain. Hasil pemikiran dirinya tidak akan diketahui oleh orang
lain, bahkan sering ada yang menyembunyikannya atau merahasiakannya.
Pikiran anak sering dipengaruhi oleh
ide-ide dari teori-teori yang menyebabkan sikap kritis terhadap situasi dan
orang lain, termasuk kepada orang tuanya. Kemampuan abstraksi anak sering
menimbulkan kemampuan mempersalahkan kenyataan dan peristiwa-peristiwa dengan
keadaan bagaimana yang semestinya menurut alam pikirannya.
Di samping itu pengaruh egosentris
sering terlihat, di antaranya berupa:
1. Cita-cita dan
idealisme yang baik, terlalu menitik beratkan pikiran sendiri, tanpa memikirkan
akibat lebih jauh dan tanpa memperhitungkan kesulitan praktis yang mungkin
menyebabkan tidak berhasilnya menyelesaikan persoalan.
2. Kemampuan
berfikir dengan pendapat sendiri, belum disertai pendapat orang lain dalam
penilaiannya.
Melalui banyak pengalaman dan
penghayatan kenyataan serta dalam menghadapi pendapat orang lain, maka sikap
ego semakin berkuran dan diakhir masa remaja sudah sangat kecil rasa egonya
sehingga mereka dapat bergaul dengan baik.[9]
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
1. Perkembangan
sosial dapat diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap
norma-norma kelompok, moral dan tradisi serta meleburkan diri menjadi satu
kesatuan dan saling berkomunikasi dan kerja sama.
2. Terdapat 8 tahap
teori perkembangan sosial, yaitu :
a.
TRUST vs MISTRUST (Percaya
vs Tidak Percaya) sejak lahir-1 tahun.
b.
AUTONOMY vs
SHAME and DOUBT (Otonomi vs Malu atau
Ragu-ragu) antara usia 2-3 tahun.
c.
INISIATIVE vs GUILT (Inisiatif vs antara 4-5 tahun).
d.
INDUSTRY vs
INFERIORITY (6-11 Tahun).
e. Ego-Identity
vs Role Confusion (Identitas Diri vs
Kekacauan Peran) masa remaja 12-18/20 tahun.
f.
Intimacy
vs Isolation (Keintiman vs
Pengasingan) masa awal dewasa (18/19-30 tahun).
g. Generactivity
vs Stagnation (Perluasan dan
Stagnasi) masa pertengahan dewasa (antara pertengahan 20-an tahun sampai 50-an
tahun).
h.
Integrity
vs Despair (Integritas dan
Kekecewaan) Akhir dewasa (60 tahunan).
3.
Dalam
perkembangan menuju kematangan sosial, anak mewujudkan dalam bentuk-bentuk
interaksi sosial di antaranya, Pembangkangan (Negativisme), Agresif (Agression),
Berselisih (Clashing), Menggoda (Teasing), Persaingan (Rivaly), Kerja sama (Cooperation), Tingkah laku berkuasa (ascendant behavior), Mementingkan diri
sendiri (selfishness), Simpati (sympathy).
4.
Perkembangan
sosial dipengaruhi beberapa faktor, yaitu, keluarga, kematangan, pendidikan,
status sosial dan ekonomi, dan kapasitas mental (emosi dan intelegensi).
5.
Melalui banyak
pengalaman dan penghayatan kenyataan serta dalam menghadapi pendapat orang
lain, maka sikap ego semakin berkuran dan diakhir masa remaja sudah sangat
kecil rasa egonya sehingga mereka dapat bergaul dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Danim,
Sudarwan. Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Alfabeta, 2010.
L.N., Syamsu Yusuf, and Nani M. Sugandhi. Perkembangan
Peserta Didik. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Sit, Marganti. Perkembangan
Peserta Didik. Medan: Perdana Publishing, 2010.
Thalib, Syamsul Bachri. Psikologi Pendidikan Berbasis
Analisis Empiris Aplikatif. Jakarta: Kencana, 2010.
[1]
Syamsu Yusuf L.N. dan Nani M. Sugandhi, Perkembangan
Peserta Didik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal, 65.
[2]
Syamsul Bachri Thalib, Psikologi
Pendidikan Berbasis Analaisis Empiris Aplikatif, (Jakarta: Kencana, 2010), hal.
58.
[3]
Sudarwan Danim, Perkembangan Peserta
Didik, (Bandung: Alfabeta, 2010), hal.67.
[4]
Marganti Sit, Perkembangan Peserta Didik,
(Medan: Perdana Publishing, 2010), hal. 87.
[5] Ibid.
[6] Ibid., 89-97.
[7] Ibid., 87-89.
[8] Ibid., 87-89.
[9] Ibid., hal. 99.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar